Oleh : Zainal Arifin

Semenjak ada usaha untuk membangun kembali “Istana Pagaruyung” yang habis terbakar dilahap dijago merah, ada sesuatu yang menarik perhatian saya, dimana beberapa penulis yang diawali oleh tulisan Wisran Hadi, kembali ada upaya “keresahan” untuk menggungat kembali seperti apa sebenarnya budaya Minangkabau itu sendiri. Wisran Hadi terlihat “resah” lagi ketika upaya untuk merehab “Istana” yang dilambangkan sebagai ikon Minangkabau, masih menempatkan budaya Minangkabau sebagai masyarakat yang bercirikan aristokrasi, sementara yang “digembar-gemborkan” di luar justru sebaliknya, yaitu masyarakat yang demokratis dan egaliter. Saya pun akhirnya ikut-ikutan resah, karena banyak pengamat dan pemerhati budaya Minangkabau — termasuk budayawan sekelas Wisran Hadi pun — masih tetap berusaha untuk memihak pada salah satu antara apakah Minangkabau itu aristokratis (dengan “Istana” nya) atau justru lebih memihak bahwa Minangkabau itu demokratis.
Lalu apakah budaya Minangkabau, memang harus diposisikan dengan tegas secara hitam dan putih. Lalu apakah abu-abu tidak bisa diakui sebagai salah satu warna yang ada “diantara” warna hitam dan warna putih tersebut. Karena menurut saya justru budaya Minangkabau berada pada posisi “abu-abu”, yang pada saat-saat tertentu bisa bergerak ke warna hitam dan saat-sat yang lain juga bisa bergerak ke warna putih. Secara struktural, budaya Minangkabau ini memang seperti sebuah bandul impuls (pendulum), yang bisa bergerak mengikuti arah perubahan yang masuk dan menggoyangnya. Artinya sebagai sebuah bandul impuls, maka budaya Minangkabau ini memilik dua ujung, dimana pangkalnya terikat kuat pada adat babuhua mati, sehingga dak lakang dek paneh dak lapuak dek hujan, sementara ujung lainnya berbentuk adat babuhua sentak, sehingga terus bergerak kesana kemari mengikuti gerakan-gerakan sakali aia gadang sakali tapian barubah.
Oleh sebab itu, maka sebenarnya berbagai fenomena yang berkembang pada masyarakat Minangkabau yang hanyalah terjadi dalam tataran adat babuhua sentak saja, tetapi agar perubahan tidak menyimpang (sumbang) secara frontal ke arah degradasi, maka perubahan tetap harus berpegang pada buhua utama yaitu adat babuhu mati (Esten, 1993). Dengan kata lain, dari kacamata strukturalisme, maka apapun bentuk fenomena yang ditunjukkan masyarakat Minangkabau sebenarnya tetap hanya bergerak dari satu posisi ke posisi yang relatif sama, hanya ujud luar (surface structure) saja yang berubah tetapi sebenarnya intinya tidak berubah (barubah cigak jadi baruak). Ketika pergerakan titik adat babuhua sentak sejajar dengan titik adat babuhua mati, maka diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan, tetapi ketika titik adat babuhua sentak ini mencapai titik terjauh dari titik kesejajaran adat babuhua mati, maka diasumsikan bahwa telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dengan adat babuhua mati.
Bandul Impuls ini menunjukkan bahwa, O adalah titik tetap sebagai pegangan utama yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau (adat babuhua mati), sementara A adalah adat yang bisa mengalami perubahan (adat babuhua sentak), tetapi secara signifikan masih berkesuaian dengan adat babuhua mati sehingga dianggap sebagai titik stagnan (belum berubah). B-C-D dianggap sebagai aturan adat babuhua sentak yang telah mengalami perubahan namun dianggap sebagai sebagai perubahan yang positif. Tingkat perubahan dianggap bervariasi tergantung jauh dekatnya dengan titik stagnan (A). Sementara ‘B’-‘C’-‘D’ adalah adat babuhua sentak yang telah mengalami perubahan dengan tingkatan yang juga bervariasi namun diasumsikan negatif. Dari skema tersebut terlihat bahwa O sebagai titik acuan yaitu adat babuhua mati akan dianggap signifikan dan memiliki kesesuaian dengan adat babuhua sentak apabila dia sejajar dengan A (tidak terjadi pergerakan). Namun sebaliknya akan dianggap terjadi perubahan apabila buhua O mulai “mengayun” atau melakukan pergerakan ke arah positif atau kearah negatif. Titik B dan ‘B’ dianggap sebagai titik perubahan terdekat, dalam arti perubahan belumlah begitu terlalu jauh dari titik acuan (A), sementara titik D dan ‘D’ dianggap sebagai tingkat perubahan terjauh yang dianggap mulai terlihat sangat berbeda dengan titik acuan jauh (A). Skema ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya pergerakan yang terjadi tetap dalam jalur yang relatif sama, karena titik A-B-C-D-‘B’-‘C’-‘D’ sebenarnya tetap terikat pada buhua-nya yaitu O. Jadi pergerakan A menuju D atau pergerakan dari A menuju ‘D’ sebenarnya sifatnya tetap, tetapi bentuknya (wajah) bisa berubah-ubah. Terjadinya pergerakan dari satu titik ke titik berikutnya inilah yang kemudian banyak dipandang sebagai fenomena dispute oleh para penelitian dan pengamat masyarakat Minangkabau.

Bandul Impuls Budaya Masyarakat Minangkabau

Karena budaya Minangkabau tidak lebih seperti sebuah bandul impuls seperti tergambar diatas, maka hal yang wajar, kalau kita melihat bahwa disaat-saat tertentu, budaya Minangkabau terlihat “sangat” aristokratis, sementara disaat-saat lainnya justru “angat” demokratis. Kedua hal tersebut, sebenarnya ada dan melekat dalam budaya masyarakanya, namun secara struktural, hal ini menunjukkan bahwa budaya Minangkabau sebenarnya berposisi “diantara” kedua hal tersebut. Oleh sebab itu, apabila kita memandang sebuah warna hanya berdasarkan oposisi belaka (hitam dan putih), maka akan sulit untuk memahami Minangkaua yang sebenarnya. Masalahnya pandangan positivisme di masyarakat kita (termasuk di kalangan akademisi dan peneliti) begitu kuat merasuki kita, sehingga akhirnya sulit untuk melihat bahwa dibalik warna hitam dan warna putih itu sendiri, ada warna abu-abu (tetapi positivisme, sering menaifkan keberadaan abu-abu tersebut).
Posisi “abu-abu” ini sebenarnya sangat jelas terlihat dalam kehidupan masyarakat kita (Minangkabau). Dibalik pengakuan bahwa sumando bak abu diateh tungku, sebenarnya juga terselip pengakuan bahwa sumando harus dihormati bak manatiang minyak panuah. Dibalik paham matrilineal yang sering dilekatkan pada masyarakat Minangkabau (Bundo Kanduang sebagai penguasa) sebenarnya juga hidup paham patrilineal (Mamak sebagai penguasa). Dibalik paham aristokratis (Koto Piliang), juga terselip paham demokratis (Bodi Canago). Justru yang harus dicurigai, adalah terpusatnya masyarakat Minangkabau ini pada posisi “hitam” saja atau pada posisi “putih” saja, karena penempatan posisi dengan “harga pas” seperti ini (tanpa bisa dilakukan “tawar menawar”) justru yang akan menghancurkan budaya Minangkabau itu sendiri. Musyawarah untuk mufakat akhirnya bisa mati, karena tidak ada lagi yang perlu dimusyawarahkan, semuanya sudah jelas dan tegas tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Diplomasi sebagai potensi yang dimiliki masyarakatnya juga akan berangsur hilang, karena tidak ada lagi yang perlu dinegosiasikan.
Posisi “abu-abu” ini, disatu sisi bisa membawa “bencana” karena potensi konflik relatif cukup tinggi. Potensi konflik ini muncul karena “abu-abu” lebih ditempatkan sebagai posisi “antara” dari warna yang selalu beroposisi (bertentangan) yaitu hitam dan putih. Namun disisi lain, juga menguntungkan, karena posisi “abu-abu” ini bisa menjadi penetralisir dari sifat oposisi (dualisme) dua warna tersebut. Akan menjadi lain, kalau posisi “antara” tersebut justru tidak mengandung warna hitam maupun putih (misalnya merah), sehingga posisinya sebagai penetralisir tidak akan mampu dilakukan. Artinya nilai-nilai budaya Minangkabau sejak awal telah dibentuk sebagai “abu-abu” yang didalamnya juga terkandung nilai-nilai oposisi (hitam dan putih). Duo Datuak pendahulu Minangkabau telah menyadari bahwa dibalik lareh Koto Piliang dan lareh Bodi Caniago dirasa perlu ada lareh Nan Panjang agar “benturan” antara dua lareh yang ada tidak terjadi secara berketerusan. Juga dirasa perlu membentuk sebuah nagari lebih da satu suku (nan barampek suku) agar dominasi satu suku dalam nagari (urang asa) yang berpotensi mencipakan arogans kekuasaan tidak terjadi.
Masalahnya sekarang, sebagaimana dikatakan Wisran Hadi, sejauhmana kita mau mengakui bahwa memang budaya Minangkabau ada pada posisi “abu-abu” dimana budayanya memang dualisme (dua komponen yang beroposisi) sekaligus juga ada posisi ketiga (sebagai penetralisir). Bukankah seorang peneliti Belanda seperti Josselin de Jong sendiri telah mengakui bahwa budaya Minangkabau ada pada posisi “permusuhan dalam persahabatan (hostile in frienship), sementara peneliti Minangkabau sendiri seperti Saanin Datuk Tan Pariaman menyebutnya sebagai “dualisme menuju keesaan”, dan Nasroen menyebutnya sebagai “keragaman dalam kesatuan”. —- Padang, 9 Maret 2007.